Sabtu, 27 Oktober 2018

Menentukan Tegak Piodalan Pura



Jembrana (Wismaberita)

          Odalan atau Piodalan berasal dari kata Wedal atau Medal, sehingga pada hakikatnya bisa dikatakan sebagai peringatan hari kelahiran (hari jadi) untuk sebuah Pura, jika pada orang dikatakan Otonan, sebut saja seperti peringatan ulang tahun. Namun, jika ulang tahun kita diperingati berdasarkan perhitungan kalender (umumnya tanggal dan bulan).

Jro Mangku Suardana, salah seorang Pemangku Pura Dangkahyangan Rambutsiwi, Rabu (27/10) menjelaskan, Tegak Podalan untuk Pura/Kahyangan adalah hari untuk memperingati lahirnya dimana saat pertama kali Pura itu di Pelaspas yang hari baiknya paling tepat ditentukan berdasarkan perhitungan Wariga atau Wewaran terutama memadukan Sapta Wara dan Panca Wara serta Wuku, maka Odalan sebuah Pura akan jatuh setiap 210 hari atau 6 (enam) bulan sekali.

Selanjutnya, adanya perhitungan Sasih (bulan Bali), akan digunakan sebagai acuan dalam menentukan tingkatan Upakara dari Pidoalan tersebut.

Dicontohkan, semisal sebuah Piodalan Pura jatuh pada hari Anggara Kliwon wuku Kulantir, maka akan dilaksanakan Upacara Pidodalan di tingkat Pratama (Biasa/Nista). Namun jika Anggara Kliwon wuku Kulantir ini bertepatan dengan rahinan Tilem (bulan mati) maka Piodalan akan dilakukan pada tingkat Madya dan apabila Anggara Kliwon wuku Kulantir ini bertepatan dengan hari bulan Puranama maka akan dilaksanakan Piodalan di tingkat Utama (Jelih).

"Terkadang ada fenomena, dimana umat menetapkan Piodalan berdasarkan Sasih (bulan Bali), biasanya seperti pada Punama Kapat atau Puranama Kadasa, dan sebagianya. Ini adalah sah-sah saja. Namun karena Purnama biasanya digunakan sebagai perhitungan dalam menentukan tingkatan Jelih atau tidaknya sebuah Piodalan. Maka jika kita menentukan Piodalan menggunakan perhitungan Sasih yakni menetapkan Piodalan pada hari Purnama, setidaknya kita memiliki konsekwensi harus mampu selalu akan melaksanakan Piodalan Jelih", jelasnya. (!)

Kendaraan Tepatnya Diupacarai Saat Tumpek Kuningan Bukan Tumpek Landep



Jembrana (Wismaberita)

     Umat Hindu di Bali, meyakini Tuhan memiliki berbagai manifestasi yang dikenal dengan nama Dewa. Hal inilah diantaranya yang membuat hingga Bali dikenal dengan sebutan Pulau Dewata.

Bali juga disebut Pulau Sorga karena diantaranya memiliki berbagai keindahan, sehingga menjadi destinasi wisata dunia, dimana tempat-tempat indahnya sungguh dijadikan agenda kunjungan dalam perjalanan tour bahkan wisata sepiritual karena yang tak kalah pentingnya Bali memiliki berbagai macam keunikan dalam adat dan budaya.

Umat di Bali yang mayoritas beragama Hindu, akan melaksanakan upacara persembahyangan berdasarkan perhitungan dan berpatokan pada sarana suci yang sering disebut dengan upakara, hari suci, tempat suci dan orang suci.

Adapun diantaranya, adalah dengan menggelar upacara pada hari atau rahinan Tumpek Landep.

Jro Mangku Suardana, salah seorang Pemangku Pura Dangkahyangan Rambutsiwi, Sabtu (27/10) mengatakan bahwa kata Tumpek sendiri berasal dari "Metu" yang artinya bertemu, dan "Mpek" yang artinya akhir, jadi Tumpek merupakan hari pertemuan wewaran Panca Wara dan Sapta Wara, dimana Panca Wara diakhiri oleh Kliwon dan Sapta Wara diakhiri oleh Saniscara (hari Sabtu). Sedangkan Landep sendiri berarti tajam atau runcing, maka dari ini diupacarai juga beberapa pusaka yang memiliki sifat tajam seperti keris. Dimana Tumpek Landep dirayakan setiap Sanisara Kliwon Wuku Landep.

Jadi dalam konteks filosofi, Tumpek Landep ini merupakan tonggak penajaman, citta, budhi dan manah (pikiran). Dengan demikian, umat selalu berperilaku berdasarkan kejernihan pikiran dengan landasan nilai–nilai agama dan dengan pikiran yang suci, umat mampu memilah serta memilih mana yang baik juga mana yang tidak baik.

Pada hari Tumpek Landep ini akan dilakukan pemujaan terhadap Sang Hyang Siwa Pasupati. Dimana setelah mempertingati Hari Raya Saraswati sebagai perayaan turunya ilmu pengetahuan, tentunya setelah itu umat memohonkan agar ilmu pengetahuan tersebut bertuah atau mendapatkan ketajaman pikiran dan hati.

"Saat hari Tumpek Landep ini dilakukan upacara pembersihan dan penyucian aneka pusaka leluhur seperti keris, tombak dan sebagainya sehingga masyarakat awam sering menyebut Tumpek Landep sebagai otonan Keris. Namun, seiring perkembangan zaman, makna Tumpek Landep ini menjadi semakin bias dan kian menyimpang dari makna sesungguhnya. Dimana saat ini, masyarakat justru memaknai Tumpek Landep lebih sebagai upacara untuk motor, mobil serta peralatan kerja dari besi. Sesungguhnya ini sangat jauh menyimpang. Sah-sah saja pada rainan Tumpek Landep ini melakukan upacara terhadap motor, mobil dan peralatan kerja namun jangan melupakan inti dari pelaksanaan Tumpek Landep itu sendiri yang lebih menitik beratkan agar umat selalu ingat untuk mengasah pikiran (manah), budhi dan citta. Dengan manah, budhi dan citta yang tajam diharapkan umat dapat memerangi kebodohan, kegelapan dan kesengsaraan. Ritual Tumpek Landep ini sesungguhnya mengingatkan umat untuk selalu menajamkan manah sehingga mampu menekan perilaku buthakala yang ada di dalam diri". jelasnya.

Menurutnya, jika menilik pada makna rerainan, sesungguhnya upacara terhadap motor, mobil ataupun peralatan kerja lebih tepat dilaksanakan pada hari atau rahinan Tumpek Kuningan, yaitu sebagai ucapan syukur atas anugerah Ida Sang Hyang Widhi Wasa atas sarana dan prasara sehingga memudahkan aktifitas umat, serta memohon agar perabotan tersebut dapat berfungsi dengan baik dan tidak mencelakakan. Tumpek landep adalah tonggak untuk mulat sarira / introspeksi diri untuk memperbaiki karakter agar sesuai dengan ajaran-ajaran agama. Inilah mengapa saat rainan Tumpek Landep ini dilakukan pembersihan dan penyucian pusaka warisan leluhur. Disamping itu, umat hendaknya melakukan persembahyangan di sanggah/ merajan serta di pura, guna memohon anugraha dari Dwa Siwa sebagai Ida Sang Hyang Pasupati agar berkenan memberi ketajaman pikiran sehingga dapat menjadi orang yang berguna bagi keluarga dan juga masyarakat.

Bagi para seniman, Tumpek landep dirayakan sebagai pemujaan untuk memohon Taksu agar kesenian menjadi lebih berkembang, memperoleh apresiasi dari masyarakat serta mampu menyampaikan pesan-pesan moral guna mendidik dan mencerdaskan umat.

"Maka sekali lagi ditegaskan, Tumpek Landep bukan rerainan untuk mengupacarai motor, mobil ataupun perabotan besi, tetapi lebih menekankan kepada kesadaran untuk selalu mengasah pikiran (manah), budhi dan citta untuk kesejahteraan umat manusia. Boleh saja pada rerainan Tumpek Landep mengupacarai motor, mobil dan sebagainya sebagai bentuk syukur namun itu adalah nilai tambahan saja, karena yang tidak bersyukur itulah sejatinya yang keliru atau salah. Akan tetapi, jangan sampai perayaan rerainan menitik beratkan pada nilai tambahan namun melupakan inti pokok dari rerainan tersebut", tegasnya. (!)