Senin, 24 Desember 2018

Banjir Bandang Bilukpoh Diyakini Perjalanan TAPA




Jembrana (Wisma Berita)

Jro Mangku Suardana (43), salah seorang Pemangku di Pura Dangkahyangan Rambutsiwi bergegas menuju lokasi pasca terjadinya musibah banjir bandang di Lingkungan Bilukpoh, Kelurahan Tegalcangkring, Kecamatan Mendoyo, Kabupaten Jembrana, Sabtu (22/12) sekira pukul 23.30 Wita yang membuat arus lalu lintas kendaraan di jalan raya Denpasar Gilimanuk macet total selama ± 24 jam akibat jembatan di daerah tersebut tersangkut batang kayu yang sangat besar dengan panjang ± 20 meter.
Hal itu dilakukan karena dirinya mengaku penasaran, dia yang akrab dipanggil Jro Mangku Suar ini hanya ingin membuktikan kebenaran cerita dari para tetuanya tentang adanya legenda pertapaan binatang nan telah mencapai kesempurnaannya yang di Bali dikenal dengan sebutan TAPA. 
Inilah satu hal yang tak akan pernah bisa lepas dari tanah Bali adalah hal-hal berbau mistik, klenik, unik dan sejenisnya. Misal, adanya roh-roh penunggu benda tertentu biasanya disebut siluman, legenda tentang adanya pertapaan binatang, dan sebagainya. Kepercayaan ini terus berlanjut hingga sekarang, bahkan diturunkan oleh para tetua (pangelingsir) dari satu generasi ke generasi selanjutnya. 
"Terkait masalah pertapaan, bukan saja manusia tetapi binatangpun bisa bertapa. Biasanya, manusia bertapa untuk memperoleh kesaktian atau daya linuwih, sementara hewan atau binatang bertapa jika telah mencapai kesempurnaan akan meningkat derajatnya menjadi siluman yang kemudian akan menghuni pepohonan atau bebatuan besar dan sebagainya. Setelah menjadi siluman, mereka biasanya akan kembali melanjutkan pertapaannya, sehingga pertapaan hewan ini bisa dilakukan dalam kurun waktu ada yang sampai ratusan tahun bahkan ribuan tahun, meski kegagalannya dapat terjadi, dimana sebelum mencapai kesempurnaannya terlebih dulu ada yang membunuhnya. Seperti pernah terjadi di suatu tempat, saat orang menebang batang pohon yang dikira kayu ternyata mengeluarkan darah, saat ditelusuri ternyata seekor ular yang masih hidup walaupun badannya tertembus senjat tajam. Mungkin ular itu sedang bertapa, hanya gagal karena keburu mati oleh manusia. Adapun hewan yang bisa bertapa itu adalah semua jenis hewan yang sudah tua, mereka akan mencari tempat persembunyiannya untuk bertapa tanpa makan dan minum. Diantara hewan itu, ular memiliki kebiasaan setelah makan akan tidur lama sampai dirinya merasa lapar lagi, untuk yang sudah tua dan besar, sekali makan dia akan tidur berbulan-bulan bahkan bertahun hingga sama dengan bertapa. Maka dari itu, jelas mengapa banyak sekali siluman dari jenis ular. Pertapaan ini akan dilakukan sampai jasadnya menghilang atau “ngehyang” atau menghanyutkan diri ke laut dalam perjalanannya untuk mencapai nirwana", jelas Jro Mangku. 
Menurutnya, disinilah letak keunikan dari cerita Tapa itu, dimana hewan yang bisa terbang misal seperti Belalang Sumbah atau jenis burung yang bertapa setelah keempurnaannya maka jasadnya akan menghilang bersama angin biasanya ditandai adanya angin topan atau puting beliung dan sebagainya. Jika hewan melata, biasanya ia akan menghanyutkan diri ke laut biasanya ditandai banjir bandang. Sehingga jika di Bali adanya bencana seperti angin topan atau puting beliung dan banjir bandang sering sekali dikaitkan dengan keyakinan adanya perjalanan dari kesempurnaan Tapa ini. 
"Cerita ini bisa dipercaya bisa tidak karena perjalanan kesempurnaan dari Tapa ini memang tidak bisa dilihat kasap mata, dimana orang awam hanya akan melihat adanya batang kayu besar yang hanyut, tetapi bagi orang yang kawean (lagi beruntung karena kebetulan terbuka mata bhatinnya) atau orang yang sudah memiliki tingkat sepiritual tinggi akan bisa melihat perjalanan dari Tapa ini menuju alam nirwana", jelasnya.

Menurut Jro Mangku, tidak semua banjir bandang membawa perjalanan Tapa. Biasanya perjalan Tapa ini terjadi saat hari bulan purnama tepat tengah malam antara jam 23.00 sd 00.00 dan akan meninggalkan ciri-ciri khusus sehingga bisa diketahui sebenarnya hewan apa yang telah mencapai kesempurnaan tapanya itu. Misanya, akan ada batang kayu berukuran sangat besar tersangkut pada payal jembatan karena perjalanan Tapa ini tidak bisa melintas di bawah jembatan, sehingga Tapa akan mengkondisikan batang kayu besar ini tersangkut pada payal jembatan untuk membendung air bisa mengalir di atas jembatan agar perjalanan Tapa ini bisa lewat dan terus sampai ke laut untuk kemudian menghilang. Begitupun kita akan tahu hewan apa yang melakukan Tapa, semisal di sekitar area banjir bandang ditandai banyak ada ular-ular kecil yang mati itu berarti adalah perjalanan pertapaan dari ular sebab ular-ular kecil ini ikut mengiringi perjalanan Tapa itu seperti saat banjir bandang yang terjadi di sungai Yehkuning, Jembrana Sabtu (11/2) lalu. Adapun banjir bandang yang terjadi di Bilukpoh itu diyakini adalah pertapaan dari be julit (ikan uling) karena di sekitar sungai banyak ditemukan bangkai be julit (ikan uling).


Ditambahkanya, dari cerita para tetua di Bali, bahwa jenis pertapaan yang paling dahsyat membawa bencana adalah pertapaan dari lelipi legis (ular minyak), dimana pertapaan ini biasanya akan menimbulkan kehancuran total dari daerah yang dilintasinya seperti ditandai terjadinya tsunami.

"Terlepas dari benar dan tidak, akhirnya Jro Mangku Suar mengaku turut prihatin atas segala bencana dan musibah yang terjadi akhir-akhir ini di Nusantara kita. Alam tidak pernah salah tetapi karena ulah manusia serakahlah jika alam menjadi tidak bersahabat", tutupnya. (!)