Oleh :
JRO MANGKU SUARDANA
Pasraman Sesepuh
Om Swastyastu,
Pura Tirtha Dang Kahyangan Luhur Rambut Siwi adalah merupakan salah satu pura (perahyangan) yang ada di kawasan Pura Dang Kahyangan Luhur Rambut Siwi yang berlokasi di Desa Yeh Embang, Kecamatan Mendoyo, Kabupaten Jembrana, Provinsi Bali dimana sejarah berdirinya berkaitan erat dengan kisah perjalanan (napak tilas) dari Dang Hyang Nirartha yang di Bali lebih dikenal dengan nama Ida Pedanda Sakti Wawu Rawuh artinya "seorang Pendeta Sakti yang baru tiba".
Dalam kitab Dwijendra Tatwa diuraikan bahwa, pada sekira abad ke 16 Masehi, setelah beberapa lama tinggal di Gelgel suatu hari kemudian Ida Pedanda Sakti Wawu Rawuh ingin menjelajahi (napak tilas) alam Bali, dimana keinginan tersebut disampaikan kepada Dalem (raja) dan Dalem selanjutnya mengijinkan atas keinginan beliau.
Dalam napak tilas Ida Pedanda Sakti Wawu Rawuh, dikisahkan mula-mula beliau menuju daerah Barat pulau Bali yang sekarang bernama Jembrana lalu berbelok ke Selatan dan berbalik ke Timur menyusuri pantai hingga bertemulah dengan seorang Penjaga yang sedang duduk pada sebuah pura.
Setelah Ida Pedanda Sakti Wawu Rawuh dekat, dengan cepat Penjaga itu menghampiri sang Pendeta dan berkata :
"Wahai sang Pendeta, dari mana dan hendak kemanakah tujuan sang Pendeta saat ini !? Janganlah tergesa-gesa, sebaiknya berhenti sebentar di sini, saya mempermaklumkan bahwa di sini ada sebuah pura (perahnyangan) yang sangat angker dan keramat sebagai tempat kami bersembahyang. Barang siapa lalu di sini tidak menyembah, tentu nanti akan diterkam harimau dan sebagainya (maksudnya adalah mendapatkan marabahaya). Maka dari itu, bersembahyanglah dulu di sini demi keselamatan sang Pendeta !!". Demikian ucapan sang Penjaga seraya menghambat perjalanan sang Pendeta.
Ida Pedanda Sakti Wawu Rawuh kemudian menjawab : "Jika demikian adanya, maka baiklah dan antarkanlah saya masuk ke dalam pura untuk menyembah !!".
Sang Pendeta diantar masuk ke dalam pura dan setiba di hadapan sebuah bangunan Palinggih, sang Pendeta lalu duduk bersila melalukan yoga, di sana beliau mengheningkan cipta dengan memandang ujung hidung (Angranasika), menunggalkan jiwatman (Bayu, Sabdha dan Idep) kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Ketika beliau sedang asik melakukan yoga, tiba-tiba robohlan bangunan Pelinggih yang ada di hadapan beliau dan hal itu disaksikan nyata oleh sang Penjaga lalu menangis seraya memohon ampun kepada sang Pendeta.
Sang Penjaga berkata : "Ampunilah hamba wahai sang Pendeta, kami telah berbuat kesalahan karena memaksa sang Pendeta untuk menyembah di sini".
Mendengar permohonan maaf dengan kesungguhan hati dari sang Penjaga, lalu sang Pendeta berbelaskasihan, di sana dengan segenap kesaktian (kawisesan) beliau kemudian kembali beryoga dan dalam sekejap bangunan yang semula roboh berdiri kembali menjadi utuh. Ida Pedanda Sakti Wawu Rawuh selanjutnya melepas gelung rambut beliau sehingga rambut beliau menjadi terurai dan seraya mencabut sehelai rambut, beliau berkata : "Wahai engkau sang Penjaga, terimalah sehelai rambut saya lalu simpanlah (siwi) untuk mengenangkan kejadian ini dan bersembahyanglah kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa agar senantiasa memperoleh kedamaian, keselamatan serta kesejahteraan". Hingga sejak itulah, pura ini dinamakan Pura Duhur Rambut Siwi yang kemudian berkembang (setelah di-purana-kan) karena sejarah berdirinya erat berkaitan dengan kisah perjalanan (napak tilas) Dang Hyang Nirartha menjadi Pura Dang Kahyangan Luhur Rambut Siwi artinya sebuah pura yang luhur atau duhur sama dengan tinggi (agung) merupakan tempat disimpannya sehelai rambut dari Dang Hyang Nirartha (Ida Pedanda Sakti Wawu Rawuh) dan kemudian setiap 6 (enam) bulan sekali dilaksanakan persembahyangan bersama oleh seluruh umat beragama Hindu atau yang dikenal dengan istilah Pujawali (Piodalan) tepatnya setiap hari Rabu panca wara Umanis wuku Perang Bakat.
Atas kejadian itu, informasi tentang keberadaan Ida Pedanda Sakti Wawu Rawuh yang memiliki kemampuan sepiritual sangat tinggi dengan cepat menyebar kepada seluruh warga, sehingga banyak warga yang datang menghadap sang Pendeta untuk memohon bimbingan sepiritual, ada pula yang memohon kesembuhan, anugerah kesejahteraan, dan sebagainya hingga membuat sang Pendeta berkenan menunda keberangkatan dalam melanjutkan perjalanan (napak tilas) beliau.
Di sana sang Pendeta memberikan bimbingan sepiritual kepada seluruh warga yang datang dan memohon, mengajarkan tuntunan agama terutama ajaran bhakti kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa, kepada Dewa-Dewi atau Bhatara-Bhatari sebagai manifestasi dari Ida Sang Hyang Widhi, juga bhakti kepada Leluhur, dan sebagainya agar memperoleh kedamaian, keselamatan serta kesejahteraan hidup secara lahir maupun bhatin.
Hingga esok paginya, saat sang surya (matahari) mulai memancarkan cahayanya ke seluruh persadha, setelah selesai melaksanakan sembahyang (Surya Sewana), sang Pendeta memercikkan Tirtha yang dibuat dari sumber air yang mengalir dari sebuah goa yang ada di kawasan tersebut (sekarang Pura Tirtha), selanjutnya sang Pendeta berpamit kepada segenap warga yang telah tercerahkan, kemudian Ida Pedanda Sakti Wawu Rawuh melanjutkan perjalanan (napak tilas) beliau.
Berangkat dari legenda itulah, hingga sekarang Pura Tirtha yang merupakan salah satu dari Perahyangan di Pura Dang Kahyangan Luhur Rambut Siwi diyakini menjadi tempat suci (stana) untuk memuja kemahakuasaan Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam manifestasi sebagai Dewa Wisnu (Dewa Air) serta menjadi tempat suci untuk memohon anugerah bimbingan sepiritual dari alam Niskala (gaib) kepada Ida Pedanda Sakti Wawu Rawuh, memohon kesejahteraan, kesembuhan, memohon Pangelukatan (ritual pembersihan badan atau Bhuana Alit dengan sarana Tirtha) dan sebagainya.
Pura ini disebut juga dengan Pura Goa Tirtha karena dalam Pura Tirtha ini memang terdapat sebuah goa sebagai tempat mengalirnya air suci (tirtha) dimaksud yang berada di kawasan Pura Dang Kahyangan Luhur Rambut Siwi dan tidak pernah kering atau berhenti mengalir meski di saat musim kemarau sekalipun.
Pura Tirtha Dang Kahyangan Luhur Rambut Siwi terbagi atas 3 (tiga) halaman (Tri Mandala), yakni :
1. Halaman Utama disebut Utama Mandala, adalah berada dalam goa yang kira-kira lokasinya tepat di bawah Pura Luhur Dang Kahyangan Luhur Rambut Siwi terdapat alur seperti sebuah perempatan (Catus Pata) yang masing-masing alurnya laksana tanpa ujung karena hingga saat ini tidak ada seorangpun yang mengetahui ujung atau akhir dari masing-masing alur goa ini. Sehingga, secara alam Niskala (gaibnya) umat meyakini bahwa alur goa yang mengarah ke Timur Laut berujung ke Pura Besakih di Gunung Agung, itu sebabnya keberadaan Pura Luhur juga diyakini sebagai pengayatan ke Pura Besakih, sedangkan alur goa yang mengarah ke Barat Laut diyakini berujung ke Pura Melanting di Pulaki sehingga di Pura Dang Kahyangan Luhur Rambut Siwi ada pengayatan Pura Melanting dan alur goa yang mengarah ke Tenggara diyakini berujung ke Pura Dalem Ped di Nusa Penida sehingga di Pura Dang Kahyangan Luhur Rambut Siwi ada pengayatan Pura Dalem Ped, sementara alur goa yang mengarah ke Barat Daya sebagai ke pintu keluar goa yang mengarah ke Laut (Segara) diyakini umat sebagai pengayatan ke setiap pura yang ada di luar pulau Bali seperti Pura Blambangan, Pura Alas Purwa, Pura Semeru Agung dan seterusnya.
2. Halaman Tengah disebut Madya Mandala, dimana pada halaman ini terdapat beberapa Palinggih dan Archa, diantaranya :
a. Sebuah palinggih Piasan adalah difungsikan sebagai stana Pralingga dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan YME) dalam manifestasi sebagai Dewa Wisnu.
b. Dua buah palinggih Padma sebagai simbol Pralingga Purusha - Perdhana (Kiwa - Tengen) yakni berlakunya hukum keseimbangan alam (Rwa Bhineda).
c. Keberadaan dua buah Archa diantaranya, Archa Ida Pedanda Wawu Rawuh dan Archa Ida Pedanda Istri Sri Patni Kaniten ialah Sakti dari Ida Pedanda Sakti Wawu Rawuh, guna mengenangkan jasa-jasa suci beliau sebagai cikal bakal Pura Dang Kahyangan Luhur Rambut Siwi.
d. Archa naga cobra berkepala tiga sebagai simbol bahwa kesatuan semesta ini sesungguhnya terbagi atas tiga tingkatan alam disebut Tri Loka, yakni alam Bhur Loka adalah alam para Bhuta Kala, alam Bwah Loka adalah alam Manusia, Hewan serta Tumbuhan (Bumi) dan alam Swah merupakan alam para Dewa sebagai manifestasi dari Ida Sang Hyang Wdhi Wasa.
e. Archa Dewa Siwa sebagai simbol Siwaisme.
f. Dua buah Archa Macan (Harimau) yakni Macan Petak (Putih) dan Macan Gading (Orange) merupakan simbul Ancangan (Parewangan).
g. Balai Pengastawa adalah berfungsi sebagai tempat Pemangku dalam memimpin persembahyangan umat.
3. Halaman Luar disebut Pratama Mandala, terdapat sebuah Palinggih berupa Padma sebagai pengayatan ke Daleming Segara (Laut).
Sebelumnya di tempat suci ini belumlah seperti sekarang, dimana keberadaan air suci yang mengalir secara terus-menerus tanpa pernah mengering meski di saat musim kemarau sekalipun pada tempat suci ini hanya dimanfaatkan untuk membasuh diri oleh warga sekitar setelah mandi di pantai. Berikut adanya kepedulian banyak warga, lalu diwujudkanlah tempat suci ini menjadi sebuah pura (perahyangan) dan seiring penataan Kapengemponan di Pura Dang Kahyangan Luhur Rambut Siwi, bersama harapan agar adanya orang yang disucikan sebagai penuntun umat dalam melaksanakan persembahyangan, baru kemudian sejak tahun 1990 dinobatkan seorang warga Desa Yeh Embang, Kecamatan Mendoyo, Kabupaten Jembrana, Provinsi Bali bernama Jro Mangku Waniya sebagai pemimpin (Manggala) persembahyangan atau Pemangku pertama, selanjutnya diteruskan putra sulung beliau yang bernama Jro Mangku Suardana dinobatkan sejak tahun 2016 sebagai Pemangku kedua di Pura Tirtha Dang Kahyangan Luhur Rambut Siwi. (!)
Om Santih, Santih, Santih Om