Oleh :
JRO MANGKU SUARDANA
Pasraman Sesepuh
Pasraman Sesepuh
Om Swastyastu,
Umat Hindu di Bali meyakini bahwa setiap bangunan suci atau pelinggih yang ditempatkan di pekarangan rumah atau tempat suci keluarga pasti diperuntukkan sesuai dengan fungsi dan kegunaannya. Bangunan-bangunan suci dimaksud bukan saja difungsikan, tetapi juga diyakini sebagai sthana Dewa-Dewi atau linggih Ida Bhatara dan roh suci leluhur serta makhluk niskala (gaib) lainnya. Atas dasar keyakinan, tidak perlu kita telisik dari mana munculnya keyakinan tersebut, yang jelas diyakini bahwa adanya bangunan-bangunan suci itu adalah tempat bagi manusia menjalin hubungan dengan yang niskala (alam gaib). Terlebih bangunan suci pelinggih Tugu Karang yang sering disebut dengan Pengijeng Karang atau Penunggun Karang sangat sering dihubungkan dengan hal yang niskala, baik dalam teks mitologi sastra dan sebagainya. Menariknya, pelinggih Tugu Karang ini paling sering dihubungkan dengan hal magis dan terkesan mistis. Walaupun memang demikian adanya, bahwa hal yang mistis, gaib dan magis sangat susah dibawa dalam ranah logika dan emperik, serta selamanya ia akan tetap menjadi misteri. Namun, misteri bukan berarti kita wajib memecahkannya dengan logika, tetapi yang misteri biarlah menjadi misteri bagian dari pengalaman manusia dalam berhubungan dengan dunia niskala. Sebab ada beberapa misteri di alam niskala manusia tidak diperbolehkan memecahkannya, terlebih cerita-cerita niskala yang berkaitan dengan mistik magis, berupaya dilogikakan pasti selamanya tidak akan nyambung. Anehnya, manusia kekinian sering sekali memaksa menarik yang niskala dalam ranah sekala (nyata) yang terbatas. Alhasil banyak manusia yang putus asa akibat kehilangan kepekaan mereka terhadap yang niskala.
Tugu Karang yang dibuat oleh para tetua di Bali, bukanlah hanya sekadar bangunan suci dan sesederhana pemahaman kita manusia modern yang kritis memahaminya. Secara gamblang, Tugu Karang adalah bangunan tenget (angker) yang dibuat dan diletakkan di tempat khusus melalui perhitungan tenget (magis-mistik). Tujuannya, jelas untuk menarik unsur-unsur magis makhluk niskala yang memiliki tingkatan kesaktian (kekuatan niskala) lebih tinggi dari Jin, gamang, dedemit dan yang lainnya (Bahu Reksa). Setelah Tugu Karang selesai ditempatkan pada tempat khusus, seperti depan pintu masuk dan barat laut pekarangan. Selanjutnya melalui banten dan prosesi khusus, seluruh makhluk niskala (gaib) yang ada di wilayah pekarangan itu kemudian diamorkan menjadi satu kesatuan energi yang utuh digelarkan Sedahan Karang dan disthanakan di Tugu Karang. Setelah melewati prosesi tersebut, sah secara niskala makhluk-makhluk yang telah diamorkan tersebut yang sesungguhnya adalah prabawa dari Sang Hyang Panca Maha Butha menjadi Penunggun Karang hingga juga dikenal dengan sebutan Sedahan Karang dengan harapan mampu memberikan perlindungan pada manusia (penghuni rumah) dari gangguan niskala, sebab gangguan niskala, hanya kekuatan niskala yang mampu menetralisirnya.
Dengan demikian, peletakan Tugu Karang dalam setiap pekarangan dimaksudkan agar makhluk tersebut memberikan perlindungan kepada penghuni rumah. Namun, kadangkalanya juga bisa mengganggu penghuni, apabila penghuni rumah mengabaikan kewajibannya untuk memberikan persembahan terlebih jika terjadi salah penempatan. Sebab makhluk niskala juga membutuhkan energi (power) dari beberapa jenis persembahan untuk melindungi penghuni rumah. Makhluk niskala akan menjadi setia jika si penghuni rumah benar dalam penempatannya dan dengan memberikan persembahan secara rutin sebagai ungkapan terimakasih atas kuasa dan kekuatannya telah memberikan perlindungan setiap saat.
Pada umumnya orang akan memperkejakan manusia (makhluk sekala) untuk menjaga rumah, tetapi masyarakat Hindu di Bali juga menempatkan makhluk niskala sebagai penjaga rumah. Percaya atau tidak, makhluk niskala sebagai Penunggun Karang akan memberikan perlindungan maksimal, baik secara sekala dan niskala.
Banyak yang tidak mengetahui bahwa Tugu Karang itu sesungguhnya merupakan gerbang bagi makhluk niskala yang datang dari dunia niskala ke sekala. Hingga, jika manusia berkehendak memasuki dimensi niskala, harus melewati pintu ini. Bahkan roh manusia ketika terlepas dari raganya terlebih dahulu harus memohon ijin kepada Penunggun karang, agar berkenan membukakan pintu niskala. Hal ini dapat dibuktikan, jika dimana ada kematian datanglah ke Tugu Karangnya dan jika anda peka, maka akan didengar isak tangis roh yang mendayu-dayu dan sedih harus meninggalkan raganya, terutama bagi orang yang mati ulah pati dan salah pati. Ini hanya akan dilihat bagi mereka yang waskita, karena belajar olah bathin atau bisa juga karena melik (istimewa) kelahiran.
Makhluk niskala ini lebih canggih dari CCTV, bahkan mampu merekam kejadian atau kondisi niskala dan sekala dengan baik. Oleh sebab itu, jangan sekali-kali kita mengira gila, jika ada orang atau balian (dukun tradisional di Bali) yang berbicara dengan Penunggun Karang untuk mendiagnosa penyakit penghuni rumah dan yang lainnya.
Tidak hanya itu, ternyata Tugu Karang memiliki peran penting untuk melindungi penghuni rumah, jika ada serangan gaib, baik desti, teluh dan terangjana atau sejenisnya. Bagi penekun desti (ilmu hitam), untuk mengirim teluh dan destinya kepada target terlebih dahulu ia harus memohon kepada Hyang Nini Bhairawi di pemuhun setra (kuburan). Atas perintah Hyang Nini, maka pasti disuruhlah si penekun desti ini meminta ijin kepada Penunggun Karang si target jika mau mengirim teluh dan destinya ke sasaran. Jika Penunggun Karang tidak memberikan ijin dan tak berkenan, maka si penekun desti itupun tidak akan bisa berbuat apa-apa, bahkan Hyang Bhatari juga tak bisa menolongnya. Betapapun kesaktian si penekun desti jika Penunggun Karang tidak mengijinkan, maka teluh dan destinya akan sia-sia, sebab Penunggun Karang akan membentengi melalui kekuatan niskala kepada seluruh penghuni rumah sehingga senjata desti akan dineteralisir.
Pengamatan penulis terhadap perlawanan Penunggun Karang, jika ada orang berniat jahat juga demikian dalam dunia sekala, sebab Penunggun Karang memiliki kekuatan yang luar biasa hebatnya. Percaya atau tidak, kekuatannya mampu membuat orang linglung, bingung dan yang lainnya. Bahkan kekuatannya mampu menghentikan seketika orang berbuat jahat berbalik menjadi baik dan welas asih terhadap penghuni rumah. Menariknya, Penunggun Karang mampu membuat perlindungan dengan tipuan maya. Bisa membuat rumah penghuni seolah-olah nampak menjadi lautan sehingga orang yang berniat jahat lari tunggang-langgang. Bahkan Penunggun Karang, dapat membuat orang yang berniat jahat berjalan sepanjang hari mengitari pekarangan rumah itu tidak menemukan jalan pulang. Anehnya lagi, Penunggun Karang mampu memunahkan dengan seketika perkakas seseorang yang berniat jahat. Termasuk penekun Pawang Hujan di Bali juga biasanya meminta pertolongan Penunggun Karang jika ingin membuat Hujan dan Terang.
Namun, belakangan kita yang campah (acuh) dengan kekuatan makhluk niskala yang ada di Tugu Karang. Bahkan kebanyakan dari kita mempertanyakan kembali sumber kebenaran dari keyakinan tersebut. Anehnya, banyak dari kita berspekulasi bahwa kepercayaan itu adalah kepercayaan sesat dan bertentangan dengan doktrin Weda. Ada kelompok tertentu, justru sengaja menghancurkan Pelinggih Tugu Karang menggantikannya dengan citra lain yang justru “kurang pas” dengan kepercayaan lokal Bali.
Tugu Karang berasal dari kata “tuhu” yang artinya tahu atau mengetahui dan berpengetahuan. Karang artinya pekarangan atau halaman rumah bisa juga karang diri atau tubuh. Siapa yang memahami dan mengetahui karang dirinya dengan baik, maka ia adalah yang mencapai keseimbangan niskala-sekala. Dalam mistik kadyatmikan dan kawisesan, Tugu Karang adalah bijaksara mantra yang utama. Tugu adalah Tang, Ang dan Ung; diringkas menjadi Karang, yakni Ang dan Ah. Dimana Ang dan Ah adalah dwiaksara simbol kehidupan dan kematian.
Akan tetapi, jika ditelisik lebih jauh, Penunggun Karang sesungguhnya memiliki hubungan dengan Tepuk Kanda (Kanda Pat) yaitu empat saudara (keluarga) spiritual dari setiap orang Bali. Kata "keluarga" yang dimaksud di sini bisa berupa fisik keluarga yang tinggal dalam dinding-dinding rumah atau senyawa untuk Pat Kanda - keluarga mistis yang tinggal di alam mistis.
Dalam lontar Sudamala disebutkan bahwa Sang Brahman (Tuhan Yang Maha Esa), turun ke semesta dengan dua perwujudan yaitu Sang Hyang Wenang dan Sang Hyang Titah. Setelah itu beliau memiliki fungsi sebagai berikut :
Hyang Titah menguasai alam Mistis termasuk didalamnya alam Dewa dan Bhuta kala, sorga dan neraka bergelar Bethara Siwa yang kemudian menjadi Hyang Guru, sedangkan Hyang Wenang turun ke mercapada, dunia fana ini berwujud semar atau dalam Susastra Bali disebut Malen, yang akan mengemban dan mengasuh isi dunia ini. Aplikasinya, Hyang Titah berstana di “hulu” yaitu komplek Sanggah Pemerajan, sedangkan Hyang Wenang berstana di “Teben” yaitu di komplek Bangunan Perumahan berupa Sedahan Karang. Mengenai bentuk bangunan juga menyerupai penokohan yang berstana didalamnya. Misalnya: stana Hyang Guru selalu diidentikan dengan kemewahan dan diatasnya menggunakan tutup “Gelung Tajuk” atau sejenisnya sebagai perlambang penguasa sorga. Sedangkan Sedahan Karang bentuknya menyerupai bentuk pewayangan “Malen” yaitu sederhana tapi kekar dengan atasan menyerupai hiasan “Kuncung” seperti bentuk ornament kepala dari wayang semar.
Sementara dalam lontar Kala Tatwa disebutkan bahwa Ida Bathara Kala bermanifestasi dalam bentuk Sedahan Karang / Sawah / Abian dengan tugas sebagai Pecalang, sama seperti manifestasi beliau di Sanggah Pamerajan atau Pura dengan sebutan Pangerurah, Pengapit Lawang atau Patih.
Di alam madyapada, bumi tidak hanya dihuni oleh makhluk-makhluk yang kasat mata saja, tetapi juga oleh makhluk-makhluk yang tidak kasat mata, atau roh. Roh-roh yang gentayangan misalnya roh jasad manusia yang lama tidak di-aben, atau mati tidak wajar misalnya tertimbun belabur agung (abad ke 18) akan mencari tempat tinggal dan saling berebutan. Maka untuk melindungi diri dari gangguan roh-roh gentayangan, manusia membangun Palinggih Sedahan.
Karena fungsinya sebagai Pecalang, sebaiknya berada dekat pintu gerbang rumah atau di pojok Barat Laut pekarangan rumah. Jika tidak memungkinkan boleh didirikan di tempat lain asal memenuhi aspek kesucian.
Pada lontar Kala Tatwa ini juga disinggung mengenai lahirnya Dewa Kala yang merupakan cikal bakal dari Sedahan Karang, dimana Dewa Kala dikatakan lahir saat hari Kajeng Kliwon nemu hari Saniscara (Sabtu) yang di Bali dengan istilah “Tumpek”. Hingga odalan Sedahan Karang disarankan disesuaikan dengan hari kelahiran dari Dewa yang berstana disana yaitu saat “Tumpek”. Untuk itu silahkan dipilih Tumpek yang mau dijadikan odalan Sedahan Karang dari sekian banyak hari raya Tumpek di Bali untuk menghormati keberadaan Dewa Kala.
Berikut, dalam Lontar Asta Kosala Kosali dan Asta Bhumi dimana pekarangan rumah biasanya dibagi menjadi sembilan, yakni dari sisi kiri ke kanan; nista, madya dan utama serta dari sisi atas ke bawah; nista, madya dan utama. Sehingga terdapat 9 bayangan kotak pembagian pekarangan rumah. adapun pembagian posisi tersebut antara lain :
Posisi utamaning utama adalah tempat "Sanggah Pemerajan" posisi madyaning utama adalah tempat "Bale Dangin" posisi nistaning utama adalah tempat "Lumbung atau klumpu" posisi madyaing utama adalah tempat "Bale Daje atau gedong" posisi madyaning madya adalah tempat "halaman rumah" posisi nistaning madya adalah tempat "dapur atau pawon / pasucian" posisi nistaning Utama adalah tempat "Sedahan Karang" posisi nistaning Madya adalah tempat "bale dauh, tempat tidur" posisi nistaning Nista adalah tempat "cucian, kamar mandi dll" biasanya digunakan tempat garase sekaligus "angkul-angkul atau gerbang rumah".
Setelah mengetahui posisi yang tepat sesuai dengan Asta Bhumi di atas untuk posisi sedahan karang, selanjutnya menentukan letak bangunan Sedahan Karang tersebut yaitu dengan mengunakan perhitungan Asta Kosala Kosali, dengan sepat atau hitungan tampak kaki atau jengkal tangan. Perhitungannya dengan konsep Asta Wara (Sri, Indra, Guru, Yama, Rudra, Brahma, kala, Uma). Adapun perhitungannya : untuk pekarangan yang luas (sikut satak), melebihi 4 are atau sudah masuk perhitungan "sikut satak", posisi Sedahan Karang dihitung dari utara menuju Kala (7 tampak) dan dari sisi barat menuju Yama (4 tampak). Adapun alasannya adalah, sesuai dengan fungsi Sedahan Karang yaitu sebagai pelindung dan penegak kebenaran yang merupakan di bawah naungan dewa Yama Dipati (hakim Agung Raja Neraka), serta tetap sebagai penguasa waktu dan semua kekuatan alam yang merupakan dibawah naungan Dewa Kala. Ini dimaksudkan agar Sedahan Karang berfungsi maksimal sesuai dengan yang telah diterangkan di atas tadi. Untuk pekarangan sempit yaitu pekarangan yang kurang dari 4 are seperti BTN, posisi Sedahan Karang dihitung dari utara dan barat cukup menuju Sri atau 1 tampak saja, dengan maksud agar bangunan tersebut tetap berguna walaupun tempatnya cukup sempit, akan tetapi dari segi fungsi tetap sama.
Menurut Jro Mangku Suardana (salah satu penulis Buku Tatwa Liak di Bali), rumah dikatakan sebagai replika kehidupan kemasyarakatan. Dimana setiap bangunan rumah adat Bali tersebut memiliki fungsi yang sangat mirip dengan fungsi bangunan / pura di tingkat desa pakraman, diantaranya :
Sanggah Pemerajan merupakan Sorga, tempat berstana dan berkumpulnya Ista Dewata / Dewata Nawa Sanga, atau merupakan simbol Pura Dalem, Bale Dangin merupakan simbol Bathara Guru, dimana setiap upacara adat selalu diselenggarakan di bale ini, sehingga bale ini sering juga disebut bale bali (bali = wali = upacara), Bale Daja merupakan simbol Bathara Sri Sedhana, simbol kewibawaan, tempat penyimpanan harta benda, sehingga sering juga disebut dengan istilah Gedong, atau Bale penangkilan (tempat tamu menunggu), Bale Dauh merupakan simbol Dewa Mahadewa, balai sosial tempat beristirahat, Bale Delod biasanya digunakan sebagai dapur atau pawon, merupakan simbol Dewa Brahma atau Dewa Agni, merupakan sumber pembakaran, pemunah tapi merupakan sumber kesejahtraan, Sumur merupakan simbol Dewa Wisnu yang merupakan pemelihara lingkungan rumah, Bale Lumbung atau Klumpu, merupakan simbol Dewi Sri, tempat menyimpan makanan, Lebuh tempat ditanamnya Ari-ari, merupakan simbol Hyang Bhairawi, penguasa kuburan Sedahan Karang merupakan simbol Hyang Durga Manik, merupakan Pura Prajapati-nya atau ulun kuburan di rumah. Jadi simbolis Hulu adalah Pura Dalem (Sanggah Pemerajan), Teben adalah Lebuh Natah, tempat ari-ari yang memiliki pura Prajapati bernama Sedahan Karang.
Yang perlu diperhatikan adalah, bangunan Palinggih Sedahan harus memenuhi syarat : Pondamennya batu dasar terdiri dari dua buah bata merah masing-masing merajah “Angkara” dan “Ongkara” sebuah batu bulitan merajah “Ang-Mang-Ung”; berisi akah berupa tiga buah batu : merah merajah “Ang”, putih merajah “Mang” dan hitam merajah “Ung” dibungkus kain putih merajah Ang-Ung-Mang, di madia berisi pedagingan: panca datu, perabot tukang, jarum, harum-haruman, buah pala, dan kuwangen dengan uang 200 kepeng, ditaruh di kendi kecil dibungkus kain merajah padma dengan panca aksara diikat benang tridatu, di pucak berisi bagia, orti, palakerti, serta bungbung buluh yang berisi tirta wangsuhpada Pura.
Persyaratan ini ditulis dalam Lontar Widhi Papincatan dan Lontar Dewa Tatwa. Jika palinggih sedahan tidak memenuhi syarat itu, yang melinggih bukan Bhatara Kala, tetapi roh-roh gentayangan itu antara lain Sang Butha Cuil.
Jika sedahan karang di-urip dengan benar, maka fungsi-Nya sebagai Pecalang sangat bermanfaat untuk menjaga ketentraman rumah tangga dan menolak bahaya sehingga terwujudlah rumah tangga yang harmonis, bahagia, aman tentram dan penuh kedamaian. Maka hendaknya tidak main-main atas penempatan maupun keberadaan Pengunggun Karang ini - Semoga Bermanfaat. (JMS)
Dalam lontar Sudamala disebutkan bahwa Sang Brahman (Tuhan Yang Maha Esa), turun ke semesta dengan dua perwujudan yaitu Sang Hyang Wenang dan Sang Hyang Titah. Setelah itu beliau memiliki fungsi sebagai berikut :
Hyang Titah menguasai alam Mistis termasuk didalamnya alam Dewa dan Bhuta kala, sorga dan neraka bergelar Bethara Siwa yang kemudian menjadi Hyang Guru, sedangkan Hyang Wenang turun ke mercapada, dunia fana ini berwujud semar atau dalam Susastra Bali disebut Malen, yang akan mengemban dan mengasuh isi dunia ini. Aplikasinya, Hyang Titah berstana di “hulu” yaitu komplek Sanggah Pemerajan, sedangkan Hyang Wenang berstana di “Teben” yaitu di komplek Bangunan Perumahan berupa Sedahan Karang. Mengenai bentuk bangunan juga menyerupai penokohan yang berstana didalamnya. Misalnya: stana Hyang Guru selalu diidentikan dengan kemewahan dan diatasnya menggunakan tutup “Gelung Tajuk” atau sejenisnya sebagai perlambang penguasa sorga. Sedangkan Sedahan Karang bentuknya menyerupai bentuk pewayangan “Malen” yaitu sederhana tapi kekar dengan atasan menyerupai hiasan “Kuncung” seperti bentuk ornament kepala dari wayang semar.
Sementara dalam lontar Kala Tatwa disebutkan bahwa Ida Bathara Kala bermanifestasi dalam bentuk Sedahan Karang / Sawah / Abian dengan tugas sebagai Pecalang, sama seperti manifestasi beliau di Sanggah Pamerajan atau Pura dengan sebutan Pangerurah, Pengapit Lawang atau Patih.
Di alam madyapada, bumi tidak hanya dihuni oleh makhluk-makhluk yang kasat mata saja, tetapi juga oleh makhluk-makhluk yang tidak kasat mata, atau roh. Roh-roh yang gentayangan misalnya roh jasad manusia yang lama tidak di-aben, atau mati tidak wajar misalnya tertimbun belabur agung (abad ke 18) akan mencari tempat tinggal dan saling berebutan. Maka untuk melindungi diri dari gangguan roh-roh gentayangan, manusia membangun Palinggih Sedahan.
Karena fungsinya sebagai Pecalang, sebaiknya berada dekat pintu gerbang rumah atau di pojok Barat Laut pekarangan rumah. Jika tidak memungkinkan boleh didirikan di tempat lain asal memenuhi aspek kesucian.
Pada lontar Kala Tatwa ini juga disinggung mengenai lahirnya Dewa Kala yang merupakan cikal bakal dari Sedahan Karang, dimana Dewa Kala dikatakan lahir saat hari Kajeng Kliwon nemu hari Saniscara (Sabtu) yang di Bali dengan istilah “Tumpek”. Hingga odalan Sedahan Karang disarankan disesuaikan dengan hari kelahiran dari Dewa yang berstana disana yaitu saat “Tumpek”. Untuk itu silahkan dipilih Tumpek yang mau dijadikan odalan Sedahan Karang dari sekian banyak hari raya Tumpek di Bali untuk menghormati keberadaan Dewa Kala.
Berikut, dalam Lontar Asta Kosala Kosali dan Asta Bhumi dimana pekarangan rumah biasanya dibagi menjadi sembilan, yakni dari sisi kiri ke kanan; nista, madya dan utama serta dari sisi atas ke bawah; nista, madya dan utama. Sehingga terdapat 9 bayangan kotak pembagian pekarangan rumah. adapun pembagian posisi tersebut antara lain :
Posisi utamaning utama adalah tempat "Sanggah Pemerajan" posisi madyaning utama adalah tempat "Bale Dangin" posisi nistaning utama adalah tempat "Lumbung atau klumpu" posisi madyaing utama adalah tempat "Bale Daje atau gedong" posisi madyaning madya adalah tempat "halaman rumah" posisi nistaning madya adalah tempat "dapur atau pawon / pasucian" posisi nistaning Utama adalah tempat "Sedahan Karang" posisi nistaning Madya adalah tempat "bale dauh, tempat tidur" posisi nistaning Nista adalah tempat "cucian, kamar mandi dll" biasanya digunakan tempat garase sekaligus "angkul-angkul atau gerbang rumah".
Setelah mengetahui posisi yang tepat sesuai dengan Asta Bhumi di atas untuk posisi sedahan karang, selanjutnya menentukan letak bangunan Sedahan Karang tersebut yaitu dengan mengunakan perhitungan Asta Kosala Kosali, dengan sepat atau hitungan tampak kaki atau jengkal tangan. Perhitungannya dengan konsep Asta Wara (Sri, Indra, Guru, Yama, Rudra, Brahma, kala, Uma). Adapun perhitungannya : untuk pekarangan yang luas (sikut satak), melebihi 4 are atau sudah masuk perhitungan "sikut satak", posisi Sedahan Karang dihitung dari utara menuju Kala (7 tampak) dan dari sisi barat menuju Yama (4 tampak). Adapun alasannya adalah, sesuai dengan fungsi Sedahan Karang yaitu sebagai pelindung dan penegak kebenaran yang merupakan di bawah naungan dewa Yama Dipati (hakim Agung Raja Neraka), serta tetap sebagai penguasa waktu dan semua kekuatan alam yang merupakan dibawah naungan Dewa Kala. Ini dimaksudkan agar Sedahan Karang berfungsi maksimal sesuai dengan yang telah diterangkan di atas tadi. Untuk pekarangan sempit yaitu pekarangan yang kurang dari 4 are seperti BTN, posisi Sedahan Karang dihitung dari utara dan barat cukup menuju Sri atau 1 tampak saja, dengan maksud agar bangunan tersebut tetap berguna walaupun tempatnya cukup sempit, akan tetapi dari segi fungsi tetap sama.
Menurut Jro Mangku Suardana (salah satu penulis Buku Tatwa Liak di Bali), rumah dikatakan sebagai replika kehidupan kemasyarakatan. Dimana setiap bangunan rumah adat Bali tersebut memiliki fungsi yang sangat mirip dengan fungsi bangunan / pura di tingkat desa pakraman, diantaranya :
Sanggah Pemerajan merupakan Sorga, tempat berstana dan berkumpulnya Ista Dewata / Dewata Nawa Sanga, atau merupakan simbol Pura Dalem, Bale Dangin merupakan simbol Bathara Guru, dimana setiap upacara adat selalu diselenggarakan di bale ini, sehingga bale ini sering juga disebut bale bali (bali = wali = upacara), Bale Daja merupakan simbol Bathara Sri Sedhana, simbol kewibawaan, tempat penyimpanan harta benda, sehingga sering juga disebut dengan istilah Gedong, atau Bale penangkilan (tempat tamu menunggu), Bale Dauh merupakan simbol Dewa Mahadewa, balai sosial tempat beristirahat, Bale Delod biasanya digunakan sebagai dapur atau pawon, merupakan simbol Dewa Brahma atau Dewa Agni, merupakan sumber pembakaran, pemunah tapi merupakan sumber kesejahtraan, Sumur merupakan simbol Dewa Wisnu yang merupakan pemelihara lingkungan rumah, Bale Lumbung atau Klumpu, merupakan simbol Dewi Sri, tempat menyimpan makanan, Lebuh tempat ditanamnya Ari-ari, merupakan simbol Hyang Bhairawi, penguasa kuburan Sedahan Karang merupakan simbol Hyang Durga Manik, merupakan Pura Prajapati-nya atau ulun kuburan di rumah. Jadi simbolis Hulu adalah Pura Dalem (Sanggah Pemerajan), Teben adalah Lebuh Natah, tempat ari-ari yang memiliki pura Prajapati bernama Sedahan Karang.
Yang perlu diperhatikan adalah, bangunan Palinggih Sedahan harus memenuhi syarat : Pondamennya batu dasar terdiri dari dua buah bata merah masing-masing merajah “Angkara” dan “Ongkara” sebuah batu bulitan merajah “Ang-Mang-Ung”; berisi akah berupa tiga buah batu : merah merajah “Ang”, putih merajah “Mang” dan hitam merajah “Ung” dibungkus kain putih merajah Ang-Ung-Mang, di madia berisi pedagingan: panca datu, perabot tukang, jarum, harum-haruman, buah pala, dan kuwangen dengan uang 200 kepeng, ditaruh di kendi kecil dibungkus kain merajah padma dengan panca aksara diikat benang tridatu, di pucak berisi bagia, orti, palakerti, serta bungbung buluh yang berisi tirta wangsuhpada Pura.
Persyaratan ini ditulis dalam Lontar Widhi Papincatan dan Lontar Dewa Tatwa. Jika palinggih sedahan tidak memenuhi syarat itu, yang melinggih bukan Bhatara Kala, tetapi roh-roh gentayangan itu antara lain Sang Butha Cuil.
Jika sedahan karang di-urip dengan benar, maka fungsi-Nya sebagai Pecalang sangat bermanfaat untuk menjaga ketentraman rumah tangga dan menolak bahaya sehingga terwujudlah rumah tangga yang harmonis, bahagia, aman tentram dan penuh kedamaian. Maka hendaknya tidak main-main atas penempatan maupun keberadaan Pengunggun Karang ini - Semoga Bermanfaat. (JMS)
Om Santih, Santih, Santih Om
Hanya teori saja, faktanya penunggu karang tidak bisa melindungi penghuni rumah dari gangguan magis.
BalasHapusSudah dijelaskan, Tergantung bagaimana kita menghormati Tugun Karang dengan Hati yg ikhlas ∂άή bener2 percaya dengan fungsi keberadaan beliau disana !!!
Hapus∂ΐ tempet sy dikelilingi orang yg bisa Ilmu Magic / leak, astungkare sampai skrg kami sedikitpun memang terlingdungi oleh Tugun Karang,, yg biasa kami sebut Betare Gede/Jero Gede !!
∂άή Jångan lupa, Tugun Karang malah bisa mendatangkan mara bahaya jiKa kita melalaikan tugas ∂άή kewajiban terhadap Tugun Karang !!!
Anda sampradaya kalo nggak percaya gk usah koment ntar kwalat loo...!!
HapusTergantung amal ibadah
BalasHapusBeliau banyak nama tapi tujuannya sama
BalasHapusSuksme atas artikelnya. Tyang benar-benar percaya dan yakin dengan Tugu Karang. sejak tyang mendirikan rumah dan Tugu Karang sudah 5 tahun, astungkara kami selalu diberi kerahayuan dan keharmonisan dalam rumah tangga.
BalasHapusTerimakasih atas informasinya.
BalasHapus