Jumat, 08 Maret 2019

Nyepi Diharapkan Menjadi Contoh Bagi Dunia



Jembrana (Wisma Berita)

Hari raya Nyepi merupakan hari pergantian tahun Saka bagi umat Hindu di Bali yang dilaksanakan setiap tahun sekali yakni selalu dimulai sehari setelah Tilem sasih Kasanga atau bulan ke IX dalam hitungan kalender Bali.

Sehari sebelum pelaksanaan hari raya Nyepi dilakukam Pangerupukan yakni merupakan upacara Nyomia Butha Kala. Bhuta berarti Ruang dan Kala berati Waktu, maka Bhuta Kala berarti Ruang dan Waktu sama dengan Dimensi. Nyomia disini dimaksudkan adalah untuk mengjarmonisasi aura negatif dengan aura positif yang ditimbulkan oleh Ruang dan Wakti (Dimensi) ini.

Pada tahapan ini khusus di Bali, Pangrupukan biasanya dimeriahkan dengan pawai ogoh-ogoh yang merupakan perwujudan Bhuta Kala yakni Ruang dan Waktu itu adalah sebagai filosofi sosok yang kejam, diarak keliling lingkungan, dan kemudian dibakar. Tujuannya sama yaitu menyemimbangkan antara Bhuta Kala dalam lingkungan sekitar.

Jro Mangku Suardana, Pemangku Pura Tirtha lan Segara Dangkahyangan Rambutsiwi, yang juga merupakan Anggota Korem 163/Wirastya, Jumat (8/3) mengatakan dimana zaman dulu saat masa keemasan Kerajaan Majapahit, hari raya Nyepi oleh umat Hindu dirayakan sebagaimana diuraikan oleh Sang Maha Mpu Prapanca di dalam karya sastranya yang indah sekali yang diberi nama Desa Warnana yang sekarang lebih dikenal dengan nama Negara Kertha Gama.

Adapun petunjuk-petunjuk itu diterangkan di dalam lontar Sundari Gama yang memuat tentang tata cara dan tata upacara yadnya merayakan pergantian tahun Saka ini yang dinamakan Hari Raya Nyepi.

Pada pustaka suci inilah diuraikan secara panjang lebar tentang upacara makiyis atau melis, tawur kasanga, Nyepi / Sepi / Sipeng dan Ngembak Gni termasuk Brata-brata Panyepian yang terdiri dari Amati Gni, Amati Karya, Amati Lelungaan dan Amati Lelanguan seperti yang secara patut dan taat dilaksanakan oleh umat Hindu di Bali.

Berikut pada pustaka suci Sang Hyang Aji Swa Mandala ditambahkan lagi petunjuk waktu pelaksanaan Tawur Kasanga, sebagai berikut ;

“Jika menyelenggarakan upacara yadnya tawur jangan mencari waktu lain dari pada Tilem Kasanga seburuk-buruknya hari akan dihapuskan oleh Sang Hyang Swa Mandala, sebab hari ini adalah waktu yang paling tepat untuk mengadakan upacara pensucian bumi dengan segala isinya, sehingga pada waktu itu harus diadakan upacara Tawur kasanga sebagai Pamarisudha Bhumi, inilah Swa Dharma dari umat Hindu untuk memohon kerahayuan, kesejahteraan dan kebahagiaan dunia”.

"Begitulah petunjuk-petunjuk tersebut yang dalam pelaksanaannya bervariasi seiring dengan perkembangan nilai-nilai budaya yang terjadi pada masyarakat umat Hindu itu sendiri yang erat hubungannya dengan tempat tinggalnya, keadaan sosial ekonominya, lingkungannya dan lain-lainnya", jelas Jro Mangku Suar.

Menurutnya, secara bathiniah umat Hindu melakukan Brata Panyepian sehari penuh pada hari raya Nyepi. Brata ini berarti disiplin bathin yakni adanya upaya mengendalikan diri, jauh dari sikap suka ria, berfoya-foya dan meriah. Sehingga Brata Panyepian adalah upaya membuat segenap Bhuwana Agung atau Alam Semesta menjadi sepi atau sipeng, dengan ciri-cirinya yang khas adalah melaksanakan Catur Brata Panyepian diantaranya Amati Gni, Amati Karya, Amati Lelungaan dan Amati Lelanguan.

Brata Panyepian dilaksanakan secara Sekala maupun Niskala, yakni :

Amati Gni, secara sekala, Amati Gni adalah benar-benar pada hari raya Nyepi, tidak menyalakan api dan tidak menyalakan lampu atau memicu hal yang bersumber dari energi panas dalam satu hari penuh atau selama 24 jam, sedangkan secara niskala, Amati Gnni itu mengandung arti mematikan nafsu serta keinginan yang bergejolak terutama yang mengarah pada hal-hal yang negatif (adharma), sebab dalam Adyatmika, api itu diproyeksikan kepada api misalnya aksara suci Ang adalah dewanya Brahma yang bersemayam di hati. Dimana hati merupakan pusat keinginan, hati adalah kehendak dan pusat nafsu, untuk itu mematikan api pada waktu Nyepi, mengandung simbolis memadamkan keinginan hawa nafsu yang bergejolak dan menjurus kepada kehendak-kehendak negatif hingga melahirkan Tri Kaya Parisudha yakni pengendalian pikiran, kata dan perbuatan agar dapat membuat keseimbangan, ketenangan dan kebahagiaan dalam hidup di dunia ini.

Amati Karya, dalam rangka melaksanakan Brata Panyepian mengandung makna menghentikan sejenak kegiatan-kegiatan jasmaniah dan perhatian dipusatkan pada perbuatan-perbuatan apa yang telah dilakukan selama tahun saka yang telah lewati hingga melahirkan mawas diri atas masalah-masalah yang telah lalu adalah penting untuk menghitung-hitung Subha dan Asubha Karma (perbuatan baik dan buruk).

Amati Lelungaan, adalah tidak bepergian pada prakteknya tidak keluar rumah pada waktu hari raya Nyepi sehingga menjadi salah mengartikan hari Nyepi dengan mengisi kegiatan berkunjung dari rumah ke rumah atau Tirtha Yatra. Nyepi mengandung arti bahwa umat memusatkan pikiran untuk melaksanakan brata penyepian itu. Dimana pikiran kita hendaknya dipusatkan pada Hyang Widhi Wasa dan memohon agar beliau menyinari hati umatnya dan memberikan bimbingan ke jalan yang benar dalam menjalani kehidupan mendatang.

Amati Lelanguan, adalah bagian dari Brata Panyepianbyang mengandung makna menekan tuntutan hawa nafsu. Lelanguan berarti kesenangan dimana kesenangan itu akan muncul dari pemuasan hawa nafsu. Sehingga dalam hal ini umat Hindu dituntut dapat menekan hawa nafsu yang mengandung arti meminimalisir pengaruh sad ripu, sadtatayi, sapta timira, tri mala dan jenis-jenis nafsu negative lainnya. Kenapa kesenangan harus ditekan, sebab sudah tentu tidak dapat dilenyapkan, akan tetapi kesenangan itu akan membawa manusia ke arah kesombongan, takabur dan lipya yang akan berakhir pada kesusahan.

Berikut, sehari setelah melaksanakan Nyepi, umat Hindu di Bali melaksanakan Ngembak Gni dimana Ngembak Gni ini sebagai filosofi mulainya kehidupan baru sehingga ada saat Ngembak Gni biasanya umat Hindu di Bali melakukan persembahyangan memanjat syukur dan memohon agan Tuhan senantiasa selalu memberikan perlindungan-Nya. Selain itu saat Ngembak Gni juga dilakukan Dharma Shanti (bersilaturahmi dan saling memaafkan), baik di lingkungan teman, keluarga maupun masyarakat. Di beberapa Desa di Bali menandai gembak Geni dengan sebuah tradisi unik yaitu tradisi omed-omedan yang juga merupakan salah satu wujud dari Dharma Shanti (menjalin silaturahmi).

Namun, di era sekarang seiring perkembangan peradaban sunnguh terjadi peralihan yang membawa perubahan suasana dalam setiap pelaksanaan hari raya Nyepi. Dimana perubahan perasaan dan lebih-lebih lagi bila peralihan itu mengenai suatu hal yang berhubungan dengan kehidupan manusia dan pada satu peralihan kondisi masa lalu akan menghilang dengan meninggalkan bekas-bekas atau kesan saja, sedangkan masa mendatang tak pernah terbayang secara konkrit sehingga pada umumnya sering dihadapi dengan perasaan harap-harap cemas, bimbang dan ragu.

Selanjutnya, menghadapi peralihan disini maka perlu dilakukan usaha-usaha untuk memperkokoh pikiran dan memperkuat bathin. Agama Hindu memberikan petunjuk dan mewajibkan diadakannya upaya-upaya tertentu dalam dan untuk menghadapi setiap peralihan, baik peralihan yang menimpa siklus kehidupan seorang maupun peralihan mengenai kelompok masyarakat atau jagad.

Upaya-upaya ini hendaknya dilakukan dalam mewujudkan konkrit dan abstrak, upaya dalam wujud konkrit lahiriah yang dilakukan oleh umat Hindu dalam menghadapi suasana peralihan dari tahun Saka atau tahun baru Saka, adalah dengan upacara keagamaan yang bertujuan Marisudha Bhumi yakni membersihkan Bhuana Agung (Alam Semesta) dari kekotoran sebagai akibat hubungan disharmonis antara Bhuwana Agung dengan Bhuwana Alit (Jasmaniah) dan produk-produk pemikiran, keinginan dan aktifitas-aktifitas negatif, yang dirumuskan dalam istilah adharma yang terjadi dalam menempuh kehidupan selama berlangsungnya perjalanan tahun saka yang lalu.

Melaksanakan Catur Brata Panyepian ini sesungguhnya sangatkah berat, sehingga banyak wisatawan maupun umat lain yang engkang meninggalkan Bali, namun banyak juga yang ingin menikmati keheningan alam saat pelaksanaan Nyepi di Bali dan kami sebagai inzan beragama Hindu di Bali justru bangga kepada Leluhur Bali dan Nusantara yang telah sangat bijak melahirkan hari raya Nyepi, karena jika kita mau mengakui secara hati nurani, Nyepi adalah upaya mengistirahakan Alam Semesta beserta seluruh kehidupannya sesungguhnya alam semesta yang sudah lelah dalam perpuratan kehidupannya masing-masing, walau hanya sehari saja dalam setahun akan tetapi Nyepi menjadi sangat berarti untuk megurangi beban alam semesta dari segala kekotoran atau polusi baik polusi yang lahir di zaman now seperti yang ditimbulkan dari penggunaan kendaraan, pesawat, kapal laut, internet dan sebagainya.

"Demikianlah rangkaian, makna dan pengertian-pengertian yang terkandung dalam hari raya Nyepi yang kita selenggarakan pada setiap tahun sekali. Hal ini kami sajikan sebagai salah satu pedoman bagi kita dalam merayakan hari suci ini. Sedari hal itu, hari raya Nyepi hendaknya bukan saja harus dihormati antar umat beragama tetapi semoga dapat menjadikan aspirasi pencontohan bagi Dunia di masa-masa mendatang sebagai satu diantara upaya penyelamatan keseimbangan Alam Semesta beserta seluruh Kehidupannya", harap Jro Mangku Suar (!)

Kamis, 14 Februari 2019

Mirah Brumbun (Ruby Pancawarna) Si Raja Permata





Ciri dari mirah ini adalah disusun atas warna yang beragam, umumnya ada unsur warna Putih, Merah, Kuning dan Hitam. Starnya ada yang Bintang dan ada juga yang star Neon.

Mirah ini dapat dikatakan sebagai Rajanya dari segala Permata, sebab orang menyebut permata warna apapun maka segala warna yang disebutkan itu ada pada mirah Brumbun, sehingga kasiat mirah Brumbun ini adalah sebagai pematuh atau penetral dan penyeimbang.

Fungsi lain dari mirah Brumbun ini juga untuk menentramkan dan membawa yoni kedamaian bagi keluarga besar pemilik mirah itu. Kebahagiaan dan ketentraman lahir batin selalu menyelimuti pemilik mirah. Mirah ini akan senantiasa membawa keberuntungan dan rejeki bagi pemiliknya.

Mirah ini sangat langka atau susah didapat hingga kalaupun ada pastilah harganya sangat mahal bahkan bisa sampai ratusan juta  karenanya umat Hindu di Bali meyakini mirah Brumbun ini biasanya digunakan sebagai inti dari Panca Dathu dan juga digunakan sebagai Monmon dengan cara dimasukkan pada mulut orang meninggal dengan maksud menghilangkan bau serta mengembalikannya pada unsur Panca Maha Butha. (!)

Rahinan Tumpek Adalah Hari Kasih Sayang Di Bali


Jembrana (Wismaberita)

          Jro Mangku Suardana, Pemangku Pura Tirtha Lan Segara Dangkahyangan Rambutsiwi yang juga adalah anggota Korem 163/Wirasatya, menyambut hari Kasih Sayang Sedunia yang dikenal dengan Valentine Day dengan sewajarnya saja karena menurutnya kasih sayang itu dilakukan hendaknya setiap saat.

Dikatakannya, Bali memiliki keunikan tersendiri terlebih masalah perhitungan hari yang mengacu pada Wariga, sehingga Bali tidak mesti ikut-ikutan kegiatan yang hukumnya belum diketahui secara pasti karena Bali sesungguhnya telah memiliki falsafah hidup tangguh diantaranya ajaran Tri Hita Karana yang berarti Tiga Penyebab Terciptanya Kebahagiaan.

Berbicara masalah hari Kasih Sayang, Bali juga sudah memiliki waktu istimewa tersebut yakni menurutnya ialah saat hari (rahinan) Tumpek, diantaranya Tumpek Klurut itu merupakan hari Kasih Sayang terhadap sesama manusia. Bukan saja itu, bahkan Bali juga mengasihi sesama makhluk ciptaan Tuhan, yakni saat rahinan Tumpek Uye yang dikenal dengan Tumpek Kandang adalah hari kasih Sayang terhadap Hewan sedangkan rahinan Tumpek Wariga yang lumrah dikenal Tumpek Pengarah itu adalah hari Kasih Sayang terhadap Tumbuhan dan masih banyak lagi hari Kasih terhadap unsur yang membentuk Bali itu sendiri yang tak lepas dari ajaran Tri Hita Karana tadi yang pada hakekatnya adalah menekankan tiga hubungan manusia dalam kehidupan di dunia ini.

Ketiga hubungan itu meliputi hubungan Manusia dengan Sesama Manusia, hubungan Manusia dengan Alam Sekitar, dan hubungan Manusia dengan ke Tuhan yang saling terkait satu sama lain. Dimana, setiap hubungan ini memiliki pedoman hidup menghargai sesama aspek sekelilingnya dengan menonjolkan makna kasih sayang dan prinsip pelaksanaannya juga harus dilakukan secara seimbang, selaras antara satu dan lainnya. Sebab, apabila keseimbangan tercapai, disinilah manusia akan hidup dengan cara selalu menghindari segala tindakan buruk, hingga hidupnya akan senantiasa Tenteram, dan Damai serta penuh Kasih Sayang", papar Jro Mangku. (!)

Senin, 24 Desember 2018

Banjir Bandang Bilukpoh Diyakini Perjalanan TAPA




Jembrana (Wisma Berita)

Jro Mangku Suardana (43), salah seorang Pemangku di Pura Dangkahyangan Rambutsiwi bergegas menuju lokasi pasca terjadinya musibah banjir bandang di Lingkungan Bilukpoh, Kelurahan Tegalcangkring, Kecamatan Mendoyo, Kabupaten Jembrana, Sabtu (22/12) sekira pukul 23.30 Wita yang membuat arus lalu lintas kendaraan di jalan raya Denpasar Gilimanuk macet total selama ± 24 jam akibat jembatan di daerah tersebut tersangkut batang kayu yang sangat besar dengan panjang ± 20 meter.
Hal itu dilakukan karena dirinya mengaku penasaran, dia yang akrab dipanggil Jro Mangku Suar ini hanya ingin membuktikan kebenaran cerita dari para tetuanya tentang adanya legenda pertapaan binatang nan telah mencapai kesempurnaannya yang di Bali dikenal dengan sebutan TAPA. 
Inilah satu hal yang tak akan pernah bisa lepas dari tanah Bali adalah hal-hal berbau mistik, klenik, unik dan sejenisnya. Misal, adanya roh-roh penunggu benda tertentu biasanya disebut siluman, legenda tentang adanya pertapaan binatang, dan sebagainya. Kepercayaan ini terus berlanjut hingga sekarang, bahkan diturunkan oleh para tetua (pangelingsir) dari satu generasi ke generasi selanjutnya. 
"Terkait masalah pertapaan, bukan saja manusia tetapi binatangpun bisa bertapa. Biasanya, manusia bertapa untuk memperoleh kesaktian atau daya linuwih, sementara hewan atau binatang bertapa jika telah mencapai kesempurnaan akan meningkat derajatnya menjadi siluman yang kemudian akan menghuni pepohonan atau bebatuan besar dan sebagainya. Setelah menjadi siluman, mereka biasanya akan kembali melanjutkan pertapaannya, sehingga pertapaan hewan ini bisa dilakukan dalam kurun waktu ada yang sampai ratusan tahun bahkan ribuan tahun, meski kegagalannya dapat terjadi, dimana sebelum mencapai kesempurnaannya terlebih dulu ada yang membunuhnya. Seperti pernah terjadi di suatu tempat, saat orang menebang batang pohon yang dikira kayu ternyata mengeluarkan darah, saat ditelusuri ternyata seekor ular yang masih hidup walaupun badannya tertembus senjat tajam. Mungkin ular itu sedang bertapa, hanya gagal karena keburu mati oleh manusia. Adapun hewan yang bisa bertapa itu adalah semua jenis hewan yang sudah tua, mereka akan mencari tempat persembunyiannya untuk bertapa tanpa makan dan minum. Diantara hewan itu, ular memiliki kebiasaan setelah makan akan tidur lama sampai dirinya merasa lapar lagi, untuk yang sudah tua dan besar, sekali makan dia akan tidur berbulan-bulan bahkan bertahun hingga sama dengan bertapa. Maka dari itu, jelas mengapa banyak sekali siluman dari jenis ular. Pertapaan ini akan dilakukan sampai jasadnya menghilang atau “ngehyang” atau menghanyutkan diri ke laut dalam perjalanannya untuk mencapai nirwana", jelas Jro Mangku. 
Menurutnya, disinilah letak keunikan dari cerita Tapa itu, dimana hewan yang bisa terbang misal seperti Belalang Sumbah atau jenis burung yang bertapa setelah keempurnaannya maka jasadnya akan menghilang bersama angin biasanya ditandai adanya angin topan atau puting beliung dan sebagainya. Jika hewan melata, biasanya ia akan menghanyutkan diri ke laut biasanya ditandai banjir bandang. Sehingga jika di Bali adanya bencana seperti angin topan atau puting beliung dan banjir bandang sering sekali dikaitkan dengan keyakinan adanya perjalanan dari kesempurnaan Tapa ini. 
"Cerita ini bisa dipercaya bisa tidak karena perjalanan kesempurnaan dari Tapa ini memang tidak bisa dilihat kasap mata, dimana orang awam hanya akan melihat adanya batang kayu besar yang hanyut, tetapi bagi orang yang kawean (lagi beruntung karena kebetulan terbuka mata bhatinnya) atau orang yang sudah memiliki tingkat sepiritual tinggi akan bisa melihat perjalanan dari Tapa ini menuju alam nirwana", jelasnya.

Menurut Jro Mangku, tidak semua banjir bandang membawa perjalanan Tapa. Biasanya perjalan Tapa ini terjadi saat hari bulan purnama tepat tengah malam antara jam 23.00 sd 00.00 dan akan meninggalkan ciri-ciri khusus sehingga bisa diketahui sebenarnya hewan apa yang telah mencapai kesempurnaan tapanya itu. Misanya, akan ada batang kayu berukuran sangat besar tersangkut pada payal jembatan karena perjalanan Tapa ini tidak bisa melintas di bawah jembatan, sehingga Tapa akan mengkondisikan batang kayu besar ini tersangkut pada payal jembatan untuk membendung air bisa mengalir di atas jembatan agar perjalanan Tapa ini bisa lewat dan terus sampai ke laut untuk kemudian menghilang. Begitupun kita akan tahu hewan apa yang melakukan Tapa, semisal di sekitar area banjir bandang ditandai banyak ada ular-ular kecil yang mati itu berarti adalah perjalanan pertapaan dari ular sebab ular-ular kecil ini ikut mengiringi perjalanan Tapa itu seperti saat banjir bandang yang terjadi di sungai Yehkuning, Jembrana Sabtu (11/2) lalu. Adapun banjir bandang yang terjadi di Bilukpoh itu diyakini adalah pertapaan dari be julit (ikan uling) karena di sekitar sungai banyak ditemukan bangkai be julit (ikan uling).


Ditambahkanya, dari cerita para tetua di Bali, bahwa jenis pertapaan yang paling dahsyat membawa bencana adalah pertapaan dari lelipi legis (ular minyak), dimana pertapaan ini biasanya akan menimbulkan kehancuran total dari daerah yang dilintasinya seperti ditandai terjadinya tsunami.

"Terlepas dari benar dan tidak, akhirnya Jro Mangku Suar mengaku turut prihatin atas segala bencana dan musibah yang terjadi akhir-akhir ini di Nusantara kita. Alam tidak pernah salah tetapi karena ulah manusia serakahlah jika alam menjadi tidak bersahabat", tutupnya. (!)

Sabtu, 27 Oktober 2018

Menentukan Tegak Piodalan Pura



Jembrana (Wismaberita)

          Odalan atau Piodalan berasal dari kata Wedal atau Medal, sehingga pada hakikatnya bisa dikatakan sebagai peringatan hari kelahiran (hari jadi) untuk sebuah Pura, jika pada orang dikatakan Otonan, sebut saja seperti peringatan ulang tahun. Namun, jika ulang tahun kita diperingati berdasarkan perhitungan kalender (umumnya tanggal dan bulan).

Jro Mangku Suardana, salah seorang Pemangku Pura Dangkahyangan Rambutsiwi, Rabu (27/10) menjelaskan, Tegak Podalan untuk Pura/Kahyangan adalah hari untuk memperingati lahirnya dimana saat pertama kali Pura itu di Pelaspas yang hari baiknya paling tepat ditentukan berdasarkan perhitungan Wariga atau Wewaran terutama memadukan Sapta Wara dan Panca Wara serta Wuku, maka Odalan sebuah Pura akan jatuh setiap 210 hari atau 6 (enam) bulan sekali.

Selanjutnya, adanya perhitungan Sasih (bulan Bali), akan digunakan sebagai acuan dalam menentukan tingkatan Upakara dari Pidoalan tersebut.

Dicontohkan, semisal sebuah Piodalan Pura jatuh pada hari Anggara Kliwon wuku Kulantir, maka akan dilaksanakan Upacara Pidodalan di tingkat Pratama (Biasa/Nista). Namun jika Anggara Kliwon wuku Kulantir ini bertepatan dengan rahinan Tilem (bulan mati) maka Piodalan akan dilakukan pada tingkat Madya dan apabila Anggara Kliwon wuku Kulantir ini bertepatan dengan hari bulan Puranama maka akan dilaksanakan Piodalan di tingkat Utama (Jelih).

"Terkadang ada fenomena, dimana umat menetapkan Piodalan berdasarkan Sasih (bulan Bali), biasanya seperti pada Punama Kapat atau Puranama Kadasa, dan sebagianya. Ini adalah sah-sah saja. Namun karena Purnama biasanya digunakan sebagai perhitungan dalam menentukan tingkatan Jelih atau tidaknya sebuah Piodalan. Maka jika kita menentukan Piodalan menggunakan perhitungan Sasih yakni menetapkan Piodalan pada hari Purnama, setidaknya kita memiliki konsekwensi harus mampu selalu akan melaksanakan Piodalan Jelih", jelasnya. (!)

Kendaraan Tepatnya Diupacarai Saat Tumpek Kuningan Bukan Tumpek Landep



Jembrana (Wismaberita)

     Umat Hindu di Bali, meyakini Tuhan memiliki berbagai manifestasi yang dikenal dengan nama Dewa. Hal inilah diantaranya yang membuat hingga Bali dikenal dengan sebutan Pulau Dewata.

Bali juga disebut Pulau Sorga karena diantaranya memiliki berbagai keindahan, sehingga menjadi destinasi wisata dunia, dimana tempat-tempat indahnya sungguh dijadikan agenda kunjungan dalam perjalanan tour bahkan wisata sepiritual karena yang tak kalah pentingnya Bali memiliki berbagai macam keunikan dalam adat dan budaya.

Umat di Bali yang mayoritas beragama Hindu, akan melaksanakan upacara persembahyangan berdasarkan perhitungan dan berpatokan pada sarana suci yang sering disebut dengan upakara, hari suci, tempat suci dan orang suci.

Adapun diantaranya, adalah dengan menggelar upacara pada hari atau rahinan Tumpek Landep.

Jro Mangku Suardana, salah seorang Pemangku Pura Dangkahyangan Rambutsiwi, Sabtu (27/10) mengatakan bahwa kata Tumpek sendiri berasal dari "Metu" yang artinya bertemu, dan "Mpek" yang artinya akhir, jadi Tumpek merupakan hari pertemuan wewaran Panca Wara dan Sapta Wara, dimana Panca Wara diakhiri oleh Kliwon dan Sapta Wara diakhiri oleh Saniscara (hari Sabtu). Sedangkan Landep sendiri berarti tajam atau runcing, maka dari ini diupacarai juga beberapa pusaka yang memiliki sifat tajam seperti keris. Dimana Tumpek Landep dirayakan setiap Sanisara Kliwon Wuku Landep.

Jadi dalam konteks filosofi, Tumpek Landep ini merupakan tonggak penajaman, citta, budhi dan manah (pikiran). Dengan demikian, umat selalu berperilaku berdasarkan kejernihan pikiran dengan landasan nilai–nilai agama dan dengan pikiran yang suci, umat mampu memilah serta memilih mana yang baik juga mana yang tidak baik.

Pada hari Tumpek Landep ini akan dilakukan pemujaan terhadap Sang Hyang Siwa Pasupati. Dimana setelah mempertingati Hari Raya Saraswati sebagai perayaan turunya ilmu pengetahuan, tentunya setelah itu umat memohonkan agar ilmu pengetahuan tersebut bertuah atau mendapatkan ketajaman pikiran dan hati.

"Saat hari Tumpek Landep ini dilakukan upacara pembersihan dan penyucian aneka pusaka leluhur seperti keris, tombak dan sebagainya sehingga masyarakat awam sering menyebut Tumpek Landep sebagai otonan Keris. Namun, seiring perkembangan zaman, makna Tumpek Landep ini menjadi semakin bias dan kian menyimpang dari makna sesungguhnya. Dimana saat ini, masyarakat justru memaknai Tumpek Landep lebih sebagai upacara untuk motor, mobil serta peralatan kerja dari besi. Sesungguhnya ini sangat jauh menyimpang. Sah-sah saja pada rainan Tumpek Landep ini melakukan upacara terhadap motor, mobil dan peralatan kerja namun jangan melupakan inti dari pelaksanaan Tumpek Landep itu sendiri yang lebih menitik beratkan agar umat selalu ingat untuk mengasah pikiran (manah), budhi dan citta. Dengan manah, budhi dan citta yang tajam diharapkan umat dapat memerangi kebodohan, kegelapan dan kesengsaraan. Ritual Tumpek Landep ini sesungguhnya mengingatkan umat untuk selalu menajamkan manah sehingga mampu menekan perilaku buthakala yang ada di dalam diri". jelasnya.

Menurutnya, jika menilik pada makna rerainan, sesungguhnya upacara terhadap motor, mobil ataupun peralatan kerja lebih tepat dilaksanakan pada hari atau rahinan Tumpek Kuningan, yaitu sebagai ucapan syukur atas anugerah Ida Sang Hyang Widhi Wasa atas sarana dan prasara sehingga memudahkan aktifitas umat, serta memohon agar perabotan tersebut dapat berfungsi dengan baik dan tidak mencelakakan. Tumpek landep adalah tonggak untuk mulat sarira / introspeksi diri untuk memperbaiki karakter agar sesuai dengan ajaran-ajaran agama. Inilah mengapa saat rainan Tumpek Landep ini dilakukan pembersihan dan penyucian pusaka warisan leluhur. Disamping itu, umat hendaknya melakukan persembahyangan di sanggah/ merajan serta di pura, guna memohon anugraha dari Dwa Siwa sebagai Ida Sang Hyang Pasupati agar berkenan memberi ketajaman pikiran sehingga dapat menjadi orang yang berguna bagi keluarga dan juga masyarakat.

Bagi para seniman, Tumpek landep dirayakan sebagai pemujaan untuk memohon Taksu agar kesenian menjadi lebih berkembang, memperoleh apresiasi dari masyarakat serta mampu menyampaikan pesan-pesan moral guna mendidik dan mencerdaskan umat.

"Maka sekali lagi ditegaskan, Tumpek Landep bukan rerainan untuk mengupacarai motor, mobil ataupun perabotan besi, tetapi lebih menekankan kepada kesadaran untuk selalu mengasah pikiran (manah), budhi dan citta untuk kesejahteraan umat manusia. Boleh saja pada rerainan Tumpek Landep mengupacarai motor, mobil dan sebagainya sebagai bentuk syukur namun itu adalah nilai tambahan saja, karena yang tidak bersyukur itulah sejatinya yang keliru atau salah. Akan tetapi, jangan sampai perayaan rerainan menitik beratkan pada nilai tambahan namun melupakan inti pokok dari rerainan tersebut", tegasnya. (!)

Sabtu, 16 Desember 2017

TNI Bantu Bangun Jamban Untuk Warga Tidak Mampu Penderita Stroke




Jembrana (Wismaberita) - Jajaran Kodim 1617/Jembrana terus berupaya membantu pembuatan jamban untuk warga tidak mampu di wilayahnya.

Mashuri (70) penderita penyakit stroke yang merupakan salah seorang warga miskin di Dusun Kembang Desa Cupel, Kecamatan Negara mengaku sangat bersyukur dan berterimakasih karena telah dibantu pembangunan jamban oleh Koramil 1617-01/Negara.

Setelah rampung dalam pembangunannya, Sabtu (17/12) langsung diserahterimakan oleh Batuud Koramil 01/Negara Peltu I Ketut Sarma seizin Pjs. Danramil 1617-01/Negara Kapten Inf I Nyoman Gede Andika, SH diterima Fathiah (65) istri Mashuri.

Dalam keseharian Mashuri hanya bisa terbaring di tempat tidur dirawat oleh istrinya. Karena suami istri ini tidak lagi bekerja kehidupan mereka dibantu oleh anak-anaknya yang juga tidak mampu.

Pembangunan jamban ini dikerjakan secara swadaya oleh jajaran Kodim 1617/Jembrana yakni Koramil 1617-01/Negara.

Dandim 1617/Jembrana, Letkol Kav Djefri Marsono Hanok mengatakan jambanisasi yang diselenggarakan oleh Koramil 1617-01/Negara merupakan program satuan dalam membantu pemerintah daerah dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pembangunan sarana/prasarana dan fasilitas umum terutama pembuatan jamban keluarga bagi keluarga miskin.

"Hal ini adalah untuk menciptakan sanitasi lingkungan yang sehat, bersih, aman dan nyaman guna miningkatkan  kesehatan dan kesejahteraan masyarakat serta memantapkan kemanunggalan TNI dengan rakyat. Kami juga sudah mengingatkan anggota untuk memulai disiplin dari diri sendiri. Memperhatikan lingkungan sekitar terlebih dahulu dan kesejahteraan keluarga sehingga kita bisa berbuat maksimal untuk masyarakat. Karena dalam jiwa kita yang tenang dan sehat kita bisa mengabdi untuk masyarakat lebih baik lagi," ungkap Dandim.

Menurutnya, semangat pengabdian dan kemanunggalan TNI bersama rakyat katanya harus terus dipupuk. (JMS)