Jembrana (Wisma Berita)
Hari raya Nyepi merupakan hari pergantian tahun Saka bagi umat Hindu di Bali yang dilaksanakan setiap tahun sekali yakni selalu dimulai sehari setelah Tilem sasih Kasanga atau bulan ke IX dalam hitungan kalender Bali.
Sehari sebelum pelaksanaan hari raya Nyepi dilakukam Pangerupukan yakni merupakan upacara Nyomia Butha Kala. Bhuta berarti Ruang dan Kala berati Waktu, maka Bhuta Kala berarti Ruang dan Waktu sama dengan Dimensi. Nyomia disini dimaksudkan adalah untuk mengjarmonisasi aura negatif dengan aura positif yang ditimbulkan oleh Ruang dan Wakti (Dimensi) ini.
Pada tahapan ini khusus di Bali, Pangrupukan biasanya dimeriahkan dengan pawai ogoh-ogoh yang merupakan perwujudan Bhuta Kala yakni Ruang dan Waktu itu adalah sebagai filosofi sosok yang kejam, diarak keliling lingkungan, dan kemudian dibakar. Tujuannya sama yaitu menyemimbangkan antara Bhuta Kala dalam lingkungan sekitar.
Jro Mangku Suardana, Pemangku Pura Tirtha lan Segara Dangkahyangan Rambutsiwi, yang juga merupakan Anggota Korem 163/Wirastya, Jumat (8/3) mengatakan dimana zaman dulu saat masa keemasan Kerajaan Majapahit, hari raya Nyepi oleh umat Hindu dirayakan sebagaimana diuraikan oleh Sang Maha Mpu Prapanca di dalam karya sastranya yang indah sekali yang diberi nama Desa Warnana yang sekarang lebih dikenal dengan nama Negara Kertha Gama.
Adapun petunjuk-petunjuk itu diterangkan di dalam lontar Sundari Gama yang memuat tentang tata cara dan tata upacara yadnya merayakan pergantian tahun Saka ini yang dinamakan Hari Raya Nyepi.
Pada pustaka suci inilah diuraikan secara panjang lebar tentang upacara makiyis atau melis, tawur kasanga, Nyepi / Sepi / Sipeng dan Ngembak Gni termasuk Brata-brata Panyepian yang terdiri dari Amati Gni, Amati Karya, Amati Lelungaan dan Amati Lelanguan seperti yang secara patut dan taat dilaksanakan oleh umat Hindu di Bali.
Berikut pada pustaka suci Sang Hyang Aji Swa Mandala ditambahkan lagi petunjuk waktu pelaksanaan Tawur Kasanga, sebagai berikut ;
“Jika menyelenggarakan upacara yadnya tawur jangan mencari waktu lain dari pada Tilem Kasanga seburuk-buruknya hari akan dihapuskan oleh Sang Hyang Swa Mandala, sebab hari ini adalah waktu yang paling tepat untuk mengadakan upacara pensucian bumi dengan segala isinya, sehingga pada waktu itu harus diadakan upacara Tawur kasanga sebagai Pamarisudha Bhumi, inilah Swa Dharma dari umat Hindu untuk memohon kerahayuan, kesejahteraan dan kebahagiaan dunia”.
"Begitulah petunjuk-petunjuk tersebut yang dalam pelaksanaannya bervariasi seiring dengan perkembangan nilai-nilai budaya yang terjadi pada masyarakat umat Hindu itu sendiri yang erat hubungannya dengan tempat tinggalnya, keadaan sosial ekonominya, lingkungannya dan lain-lainnya", jelas Jro Mangku Suar.
Menurutnya, secara bathiniah umat Hindu melakukan Brata Panyepian sehari penuh pada hari raya Nyepi. Brata ini berarti disiplin bathin yakni adanya upaya mengendalikan diri, jauh dari sikap suka ria, berfoya-foya dan meriah. Sehingga Brata Panyepian adalah upaya membuat segenap Bhuwana Agung atau Alam Semesta menjadi sepi atau sipeng, dengan ciri-cirinya yang khas adalah melaksanakan Catur Brata Panyepian diantaranya Amati Gni, Amati Karya, Amati Lelungaan dan Amati Lelanguan.
Brata Panyepian dilaksanakan secara Sekala maupun Niskala, yakni :
Amati Gni, secara sekala, Amati Gni adalah benar-benar pada hari raya Nyepi, tidak menyalakan api dan tidak menyalakan lampu atau memicu hal yang bersumber dari energi panas dalam satu hari penuh atau selama 24 jam, sedangkan secara niskala, Amati Gnni itu mengandung arti mematikan nafsu serta keinginan yang bergejolak terutama yang mengarah pada hal-hal yang negatif (adharma), sebab dalam Adyatmika, api itu diproyeksikan kepada api misalnya aksara suci Ang adalah dewanya Brahma yang bersemayam di hati. Dimana hati merupakan pusat keinginan, hati adalah kehendak dan pusat nafsu, untuk itu mematikan api pada waktu Nyepi, mengandung simbolis memadamkan keinginan hawa nafsu yang bergejolak dan menjurus kepada kehendak-kehendak negatif hingga melahirkan Tri Kaya Parisudha yakni pengendalian pikiran, kata dan perbuatan agar dapat membuat keseimbangan, ketenangan dan kebahagiaan dalam hidup di dunia ini.
Amati Karya, dalam rangka melaksanakan Brata Panyepian mengandung makna menghentikan sejenak kegiatan-kegiatan jasmaniah dan perhatian dipusatkan pada perbuatan-perbuatan apa yang telah dilakukan selama tahun saka yang telah lewati hingga melahirkan mawas diri atas masalah-masalah yang telah lalu adalah penting untuk menghitung-hitung Subha dan Asubha Karma (perbuatan baik dan buruk).
Amati Lelungaan, adalah tidak bepergian pada prakteknya tidak keluar rumah pada waktu hari raya Nyepi sehingga menjadi salah mengartikan hari Nyepi dengan mengisi kegiatan berkunjung dari rumah ke rumah atau Tirtha Yatra. Nyepi mengandung arti bahwa umat memusatkan pikiran untuk melaksanakan brata penyepian itu. Dimana pikiran kita hendaknya dipusatkan pada Hyang Widhi Wasa dan memohon agar beliau menyinari hati umatnya dan memberikan bimbingan ke jalan yang benar dalam menjalani kehidupan mendatang.
Amati Lelanguan, adalah bagian dari Brata Panyepianbyang mengandung makna menekan tuntutan hawa nafsu. Lelanguan berarti kesenangan dimana kesenangan itu akan muncul dari pemuasan hawa nafsu. Sehingga dalam hal ini umat Hindu dituntut dapat menekan hawa nafsu yang mengandung arti meminimalisir pengaruh sad ripu, sadtatayi, sapta timira, tri mala dan jenis-jenis nafsu negative lainnya. Kenapa kesenangan harus ditekan, sebab sudah tentu tidak dapat dilenyapkan, akan tetapi kesenangan itu akan membawa manusia ke arah kesombongan, takabur dan lipya yang akan berakhir pada kesusahan.
Berikut, sehari setelah melaksanakan Nyepi, umat Hindu di Bali melaksanakan Ngembak Gni dimana Ngembak Gni ini sebagai filosofi mulainya kehidupan baru sehingga ada saat Ngembak Gni biasanya umat Hindu di Bali melakukan persembahyangan memanjat syukur dan memohon agan Tuhan senantiasa selalu memberikan perlindungan-Nya. Selain itu saat Ngembak Gni juga dilakukan Dharma Shanti (bersilaturahmi dan saling memaafkan), baik di lingkungan teman, keluarga maupun masyarakat. Di beberapa Desa di Bali menandai gembak Geni dengan sebuah tradisi unik yaitu tradisi omed-omedan yang juga merupakan salah satu wujud dari Dharma Shanti (menjalin silaturahmi).
Namun, di era sekarang seiring perkembangan peradaban sunnguh terjadi peralihan yang membawa perubahan suasana dalam setiap pelaksanaan hari raya Nyepi. Dimana perubahan perasaan dan lebih-lebih lagi bila peralihan itu mengenai suatu hal yang berhubungan dengan kehidupan manusia dan pada satu peralihan kondisi masa lalu akan menghilang dengan meninggalkan bekas-bekas atau kesan saja, sedangkan masa mendatang tak pernah terbayang secara konkrit sehingga pada umumnya sering dihadapi dengan perasaan harap-harap cemas, bimbang dan ragu.
Selanjutnya, menghadapi peralihan disini maka perlu dilakukan usaha-usaha untuk memperkokoh pikiran dan memperkuat bathin. Agama Hindu memberikan petunjuk dan mewajibkan diadakannya upaya-upaya tertentu dalam dan untuk menghadapi setiap peralihan, baik peralihan yang menimpa siklus kehidupan seorang maupun peralihan mengenai kelompok masyarakat atau jagad.
Upaya-upaya ini hendaknya dilakukan dalam mewujudkan konkrit dan abstrak, upaya dalam wujud konkrit lahiriah yang dilakukan oleh umat Hindu dalam menghadapi suasana peralihan dari tahun Saka atau tahun baru Saka, adalah dengan upacara keagamaan yang bertujuan Marisudha Bhumi yakni membersihkan Bhuana Agung (Alam Semesta) dari kekotoran sebagai akibat hubungan disharmonis antara Bhuwana Agung dengan Bhuwana Alit (Jasmaniah) dan produk-produk pemikiran, keinginan dan aktifitas-aktifitas negatif, yang dirumuskan dalam istilah adharma yang terjadi dalam menempuh kehidupan selama berlangsungnya perjalanan tahun saka yang lalu.
Melaksanakan Catur Brata Panyepian ini sesungguhnya sangatkah berat, sehingga banyak wisatawan maupun umat lain yang engkang meninggalkan Bali, namun banyak juga yang ingin menikmati keheningan alam saat pelaksanaan Nyepi di Bali dan kami sebagai inzan beragama Hindu di Bali justru bangga kepada Leluhur Bali dan Nusantara yang telah sangat bijak melahirkan hari raya Nyepi, karena jika kita mau mengakui secara hati nurani, Nyepi adalah upaya mengistirahakan Alam Semesta beserta seluruh kehidupannya sesungguhnya alam semesta yang sudah lelah dalam perpuratan kehidupannya masing-masing, walau hanya sehari saja dalam setahun akan tetapi Nyepi menjadi sangat berarti untuk megurangi beban alam semesta dari segala kekotoran atau polusi baik polusi yang lahir di zaman now seperti yang ditimbulkan dari penggunaan kendaraan, pesawat, kapal laut, internet dan sebagainya.
"Demikianlah rangkaian, makna dan pengertian-pengertian yang terkandung dalam hari raya Nyepi yang kita selenggarakan pada setiap tahun sekali. Hal ini kami sajikan sebagai salah satu pedoman bagi kita dalam merayakan hari suci ini. Sedari hal itu, hari raya Nyepi hendaknya bukan saja harus dihormati antar umat beragama tetapi semoga dapat menjadikan aspirasi pencontohan bagi Dunia di masa-masa mendatang sebagai satu diantara upaya penyelamatan keseimbangan Alam Semesta beserta seluruh Kehidupannya", harap Jro Mangku Suar (!)